Indonesia Vrij
Indonesia Merdeka (Indonesia Vrij) merupakan pledoi dari Bapak Bangsa, Moh. Hatta yang disusun di dalam Penjara. Beliau saat itu masih berusia 26 tahun (Maret 1928) dan ditangkap karena memimpin Perhimpunan Indonesia. Nasib yang sama juga dialami oleh Soekarno yang ditangkap karena memimpin PNI dan dijebloskan ke Penjara Banceuy, Bandung dan menyusun pidato yang terkenal yaitu Indonesia Menggugat. Meskipun kedua pledoi disusun dengan tujuan yang sama, namun ternyata mengantarkan nasib yang berbeda. Bung Hatta kemudian divonis bebas sedangkan Bung Karno dihukum 4 tahun, hal ini juga menjadi bukti bahwa tedapat perbedaan yang nyata antara pengadilan negeri jajahan dan negeri penjajah.
Pidato beliau yang sangat padat sebagai pidato politik, ini perlu kita renungi hingga saat ini karena dalam beberapa hal masih relevan. Semangat beliau dalam “melawan penjajah” sekaligus strategi dalam menyusun materi pembelaan juga menjadi bahan yang menarik untuk dilakukan pengkajian. Prof. Dr. Mubyarto dalam pengantarnya pun menyebutkan:
“Pidato Bung Hatta patut dijadikan bacaan wajib pakar-pakar politik kita”
Bagi saya pribadi, selain menjadi referensi politik namun juga menjawab sebagian pertanyaan yang sering terlintas dalam pikiran saya. Mengapa mahasiswa Indonesia selalu ikut bergejolak dan bahkan menjadi salahsatu nahkoda dalam politik nasional? Ternyata jawaban ini sudah tersaji dan dijelaskan secara gamblang oleh Bung Hatta sejak 80 tahun silam. Semoga apa yang telah disusun setelah membaca pidato secara utuh ini bisa bermanfaat untuk memantik semangat dalam merawat Indonesia.
Data Buku
· Judul Buku:
Indonesia
Vrij
(Indonesia
Merdeka)
· Penulis:
Moh.
Hatta
· Editor:
Prof.
Dr. Mubyarto
· Tebal:
xi+142
halaman
Daya Juang Pemuda dan Riwayat Perhimpunan Indonesia – Bagian Pertama
Pergerakan pemuda di Indonesia berbeda dengan keadaan di negara lainnya, khususnya di belahan dunia barat. Dunia barat menganggap aneh, tidak normal dan gejala yang tidak sehat ketika seorang pemuda atau mahasiswa aktif di bidang politik. Gejala ini sebenarnya juga muncul di Rusia saat pemerintahan Tsar dan Kerajaan Austria Hongaria serta Italia saat dijajah pemerintah asing. Hal ini hampir sama dengan keadaan di Indonesia dan bukanlah suatu kebetulan.
“Di benua Eropa, sebagian daripada angkatan muda yang terbaik, yang belajar di Sekolah – sekolah Tinggi, menaruh minat besar pada semua masalah sosial dan kemasyarakatan; tidak secara aktif, tetapi hanya secara abstrak” (hal. 3)
Bung Hatta menambahkan bahwa pemuda Barat lebih berorientasi untuk mempersiapkan diri untuk bidang politik dan kemasyarakatan di kelak kemudian hari, sedangkan pemuda Indonesia memulainya sejak masih duduk di bangku sekolah. Hal ini dipengaruhi oleh kehidupan masyarakat kolonial yang dengan cepat membuat pemuda mengalami kenyataan yang keras dan pahit. Hampir semua organisasi mencantumkan tujuan yang sama yaitu peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat, harapan ini timbul karena pemuda Indonesia sungguh merasakan hinaan karena dijajah dan menyadari sepenuhnya penindasan rakyat oleh pemerintah asing.
Prinsip pokok kehidupan kolonial lainnya adalah bersikap tidak jujur. Hal ini pula yang dijalankan pihak kolonial sebagai sistem yang mewajibkan pejabat Indonesia untuk berdiam diri, berbohong dan berbicara yang baik tentang pemerintahan kolonial. Ini juga yang mempengaruhi para pemuda yang melihat bapak mereka sebagai “lambang ketidakjujuran abadi”. Ironi nasib yang terjadi kemudian anak muda yang paling banyak mengecam berasal dari kalangan priyayi itu sendiri, bahkan hingga mengancam hubungan kekeluargaan. Sedangkan, dalam negeri yang merdeka persoalan semacam itu tidak ada.
“Hati nurani nasional berbicara lebih keras daripada suara ikatan kekeluargaan...
Oleh karena semua motif kepentingan diri pribadi dan pertimbangan pribadi harus menyingkir untuk cita – cita kebangsaan.”
Hal lainnya adalah sejak dari kecil angkatan muda Indonesia secara nasional dan rasial diterbelakangkan. Adanya pertentangan yang tajam antara kulit putih dengan kulit berwarna. Berbagai macam hinaan selalu dilontarkan dengan sengaja dan sadar untuk menyakiti perasaan halus masyarakat Indonesia. Ini pula yang memunculkan sikap bermusuhan dengan penjajah. Pendidikan sejarah juga dibungkus sedemikian rupa dengan mencekoki pahlawan kemerdekaan Eropa, namun untuk perjuangan yang sama dengan tokoh bangsa sendiri dianggap sebagai pemberontak. Inilah yang kemudian mendorong pemuda Indonesia yang belajar di Eropa untuk tidak hanya belajar dan menambah pengetahuan namun juga berarti melatih diri secara politis dan mempersiapkan dirri untuk tugas mulia di hari depan.
Perhimpunan Indonesia bermula sejak 1908 dengan nama asal Indische Vereniging, bersamaan dengan Boedi Oetomo di Weltevreden (Jakarta). Perkembangan PI dapat dibagi menjadi 4 tahap, yaitu:
1. 1908 – 1913
2. 1913 – 1919
3. 1919 – 1923
4. 1923 – sekarang (1928)
1. 1908 – 1913
2. 1913 – 1919
3. 1919 – 1923
4. 1923 – sekarang (1928)
Ciri tahap pertama adalah mencari arah dan IV didirikan bukan kesadaran untuk berpolitik namun sekedar kebutuhan untuk berkumpul di perantauan. Pada tahun 1913 datanglah R.M. Soewardi Soraningrat, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Douwes Dekker yang menjadi korban peringatan Seratus Tahun Kemerdekaan Negeri Belanda. Ketiganya adalah pendukung Pikiran Baru dan lambat laun mulai membawa organisasi menuju dunia politik. Akibatnya donatur dari pihak Belanda untuk organisasi makin mundur dan menunjukkan simpati orang Belanda berakhir ketika yang dibicarakan adalah politik.
Pada musim gugur 1917, tokoh penting dari mahasiswa Indonesia, Belanda dan Tionghoa berkumpul dan membentuk perkumpulan yang mencakup semua pihak dengan nama “Indonesische Verbond”. Namun dalam dinamikanya terdapat pertentangan pandangan antara berbagai pihak mulai dari kongres pertama hingga selanjutnya dengan pihak Belanda yang tidak menghendaki penghapusan penjajahan itu.
Awal tahap ketiga diwarnai dengan perubahan nama menjadi Indonesische Vereniging (1922) dan diikuti dengan perubahan majalah menjadi “Indonesia Merdeka”. Kekecewaan muncul akibat Janji November yang tidak dipenuhi, sehingga muncul keyakinan bahwa dalam politik kolonial tak ada istilah untuk gagasan “Indonesia lepas dari Holland”. Hal ini yang mendasari prinsip non kooperasi dan mulai tahap keeempat dengan mengubah nama menjadi Perhimpunan Indonesia.
Moh. Hatta mengemukakan riwayat panjang sejarah ini untuk menunjukkan bahwa PI tidak serta merta menolak bekerjasama dengan pemerintah jajahan demi masa depan Tanah Air dan percaya penuh terhadap maksud baik Nederland. Namun akibat pertentangan yang tidak dapat didamaikan maka kemudian terpaksa untuk menempuh jalannya sendiri.